A. Sejarah
Agama Jaina bermakna : agama
Penaklukan. Yang dimaksudkan penaklukan adalah penaklukan kodrat-kodrat
Syahwati dalam tata hidup manusiawi2, sebenarnya ajaran agama jain ini telah
lahir sejak dulu, agama jain mengakui bahwa ada 24 Thirtankara atau jiwa
sempurna yang kesemuanya dipercayai telah menyebarkan ajaran agama jain
keseluruh dunia dari dua puluh empat thirtankara tersebut, Vardhamana atau yang
dikenal dengan Mahavira yakni Thirtankara yang ke 24 adalah tokoh jainisme yang
paling dikenal dan para penganut agama jain merasa ajaran jain telah cukup
sempurana tatkala ditangannya[1].
Agama jain adalah sebuah agama
monastic kuno dari india. Agama ini menolak otoritas weda sebagaimana halnya
agama budhha. Agama ini muncul pada zaman wiracarita yakni masa akhir zaman
brahmana, ketika ada perdebatan antara aliran teistis dan non teistis. Menurut
Jhon A Hutchison agama inijuga agama budhha muncul di zaman heresies (zaman
pilihan) yang timbul karena dua alasan, yang pertama karena waktu itu orang
tidak mengakui adanya otoritas sacral Weda. Kemudian yang kedua yakni pada
waktu itu orang menolak batu ujian ortodoksi hindu yaitu apa yang disebut
kasta.
Agama Jaina sendiri lahir
berdasarkan reaksi dari ketidak setujuannya terhadap ajaran-ajaran agama Hindu,
maka pada saat itu terjadi pemberontakan besar terhadap agama Hindu yang
dipimpin oleh Mahavira. Mahavira lahir pada tahun 599 SM, ayahnya bernama
Sidarta yang merupakan seorang anggota dalam majelis yang memerintah Bandar
atau kesatuan ketentaraan di india.
Awal mula dari kemunculan agama
jaina ialah ketika mahavira menyaksikan prilaku kasta brahmana ( Brahmin ) yang
banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga membuat dia muak pangeran
muda tersebut. Apalgi ketika ia menyaksikan kematian kedua orang tuanya dalam
keadaan lapar padahal mereka hidup dalam kemewahan, itu dilakukan kedua orang
tuanya karena dalam ajaran hindu mengatakan kematian dalam keadaan lapar
merupakan suatu kematian yang suci ( holy death ).
B. Prakter dan Ajarannya
Enam Ritual Penting
1. Samyik
mengajarkan dimana kami mencoba untuk mendekati jiwa kita. Selama samyik kita
duduk di stu tempat selama 48 menit mengisolasi diri dari rumah tangga
sehari-hari, sosial, bisnis, atau kegiatan sekolah. Selama melakukan samyik
kami memakai pakaian katun putih bersih yang disimpan hanya untuk samyik.
2. Chaturvimasati
Saat
mencapai sambhav di samyik, seseorang akan berpikir mengnai kepribadian mereka
yang besar menuju jalan samta. Lalu berpikir tentang Tirhankaras, sehingga kita
dapat memuji 24 thirtankaras, ini merupakan konsep dibalik chturvimasati.
Loggas yang dibacakan memiliki arti yang mendalam seperti mantra.
3. Vandan
Selama
vandana, kita tunduk kepada para biarawan dan biawarawati dan mengungkapkan
rasa hotmat kita kepada mereka. Mereka adalah pemandu agama kita saat ini, dan
preceptors, sementara membungkuk, kita menjadi rendah hati, dan dengan
demikian, ini membantu kita untuk mengatasi ego dan amarah.
4. Pratikraman
Selama
pratikraman kami meninjau kegiatan kami untuk setiap pelanggaran yang mungkin
sudah terjadi selama sumpah ini. Dengan cara ini kita meminta pengampunan atas
tindakan kita dan memurnikan jiwa kita, dan meningkatkan kegiatan pengampunan
atas tindakan kita.
5. Kayotsargga
Artinya
kita menyerah kenyamanan fisik dan gerakkan tubuh, sehingga tinggal stabil,
baik dalam berdiri atau posisi lainnya, dan berkonsentrasi pada hakekat jiwa
yang terpisah dari tubuh atau membacakan mantra navakar atau chauvisantho.
6. Pratyakhyan
Adalah
penolakan formal kegiatan tertentu, yang mengurangi atau menghentikan aliran
dari karma. Prayakhyan membantu kita untuk belajar mengendalikan keinginan kita
dan mempersiapkan kita untuk penolakan yang lebih besar.
Ajarannya antara lain sebagai
berikut :
a. Konsepsi
tentang tuhan
Agama jain atau jainisme menolak adanya
tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa dunia ini. Walaupun demikian
menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk atheis, melainkan disebut
non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak paha agama tersebut tentang
apa yang disebut tuhan. Agama jain mengakui keberadaan apa yang disebut sang
“Maha Kuat”, namun mengatakan bahwa sang maha kuat tersebut termasuk pula
manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada
kesempatan untuk melarikan diri darinya[2].
b. Konsepsi
tentang alam
Jainisme menganut filsafat dualisme,
yaitu membagi alam saemesta ini menjadi dua kategori: zat yang hidup (jiva) dan
zat yang tidak hidup (ajiva). Ajiva memiliki lima substansi yaitu benda
(pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa) dan waktu (kala). Unsure jiva dan
keenam unsure ajiva tersebut disebut denga enam dravya. Menurut agama ajarang agama jain substansi
jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak
berakhir. Atau dengan kata lain tidak ada sebab pertama yang menyebabkan
terjadinya substansi-substansi tersebut.
c. Konsepsi
tentang karma
Jainisme tetap menerima ajaran tentang
karma-samsara dalam pemikiran tradisional india, dan mengajarkan bahw karma
terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam jainisme
berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa dan benda, atas dasra prinsip
tersebut, menurut jainisme tubuh manusia itu memenjarakan jiwanya.
Menurut jainisme karma adalah energy
jiwa yang dengan energy itu menyebabkan penggabungan jiwa dan benda dan
kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut jain karma bisa dibersihkan, prose
pembersihan karma disebut dengan nirjana, jika proses nirjana ini berjalan
terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan
akan mencapai tujuan utama hidup[3].
d. Pandangan tentang pencerahan
Tujuan akhir dari ajaran jain adalah
untuk mencapai kehidupan yang sempurna memperoleh pengetahuan tentang
pencerahan dan akhirnya moksa yakni terlepas dari siklus kelahiran kembali.
Menurut agama jain jiwa yang telah mencapai kesempurnaan atau pencerahan
menyebabkan pemiliknya mencapai tingkat kesalehan dan kesempurnaan dari luar.
Sebagai contoh para tirthankara yang
kesemuanya telah diakui berhasil mencapai kesempurnaan itu. Kemudian orang yang
telah mencapai kesempurnaan jua akan dapat menikmati empat macam atribut yakni
persepis yyang tak terbatas, pengetahuan yang tak terbatas, kekuatan yang tak
terbatas dan kebahagiaan yang tak terbatas. Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat
dirasa ketika dia amsih hidup atau sudah mati.
e. Tentang
Epsitemologi
Dalam aspek epistemologi, jaina menolak
pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya
pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui
inferensi dan testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas
persepsi, karena sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal
carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) ketika mengatakan bahwa semua
inferensi adalah invalid, dan juga ketika mereka menolak eksistensi objek-objek
karena mereka tidak dilihat.
f. Pluralism
Jaina percaya dengan pluralisme roh;
terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang,
tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam
ilmu pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada
yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh
terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan
mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran
tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti
matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan
menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan
alamiah[4].
g. Kitab
Suci
sumber-sumber suci dikalangan para pengikut agam
jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato mahavira ini
diteriam oleh para pengikutnya seperti para murid-muridnya,orang-orang
arif,pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini
diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut
ajaran-ajarn ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain maka pada
abad ke-4 SM namun ada juga yang menyebut pada130 SM, para penganut jaina
mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah
suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta,
yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab
ini adalah bahasa ardha majdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya
digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya
kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta[5].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar